Delegasi AIYEP 2016 bersama Host Family |
Salah satu hal istimewa yang
didapat dalam program pertukaran pemuda, khususnya AIYEP adalah pengalaman
tinggal dengan host family atau
keluarga angkat. Hal ini adalah salah
satu dari sekian banyak hal yang kusyukuri. Aku mendapatkan kesempatan berharga
bertemu dengan empat keluarga angkat. Dua di fase Australia dan dua lagi di
fase Indonesia.
Tujuan dari dibentuknya Pertukaran
Pemuda Indonesia Australia adalah “building
mutual understanding through people to people contact.” Salah satu cara
untuk mencapai tujuan itu yaitu melalui kegiatan tinggal dengan keluarga
angkat. Para peserta mempunyai waktu sekitar dua setengah hingga tiga minggu.
Bagiku, rentang waktu tersebut sangatlah pas, tidak terlalu pendek dan tidak
terlalu panjang. Dalam tiga minggu tersebut kita dapat menjalin ikatan
emosional sebagai bagian dari keluarga. Aku pun ikut menjalankan rutinitas
kegiatan dalam keluarga. Kemudian aku juga belajar bagaimana melewati tantangan
hidup di tengah orang yang baru dikenal dan berbeda budaya.
Pada Australian City Phase, aku
tinggal dengan Scott dan Alison Leslie bersama dengan kedua anak laki-laki
mereka, Isaac dan Noel. Alison dan Scott bekerja sebagai Podiatrist. Itu adalah
pertama kalinya aku mendengar jenis pekerjaan tersebut. Alison menjelaskan bahwa Podiatrist adalah
semacam dokter spesialis kaki dan memang belum terlalu populer di Asia.
Setiap pagi aku, Noel, Isaac, dan
Scott berangkat bersama, sedangkan Alison mengendarai mobilnya sendiri karena
ia bekerja di klinik dekat rumah. Pertama, kami mengantarkan Noel menuju tempat
penitipan anak, kemudian mengantar Isaac ke sekolah. Klinik tempat Scott
bekerja dekat dengar tempat kerjaku, sehingga aku dapat dengan mudah berjalan
kaki dari parkir mobil di belakang klinik Scott. Saat pulang kerja pun aku
kembali berjalan ke klinik dan kemudian kami menjemput Isaac dan Noel pulang.
Saat tiba di rumah kami biasanya memasak makan malam bersama. Aku selalu
menawarkan diri untuk membantu Alison memasak. Jika kami pulang terlalu larut
maka kami akan memesan Pizza, KFC, atau makanan China. Beberapa malam aku juga
memasak makanan Indonesia dan ternyata mereka menyukainya. Jika hari akhir
pekan, biasanya kami akan bermain board
game sehabis makan malam. Mereka mengajarkanku cara bermain Rummy dan Uno. Satu permainan ringan yang paling kusukai adalah Chocolate Game. Kami mendapat giliran
memakan coklat beku jika berhasil mendapatkan dadu bernilai enam. Alison
mengatakam bahwa mereka lebih suka bermain board
game daripada menatap layar televisi dikarenakan saat bermain mereka bisa
berinteraksi antar satu sama lain, tertawa, dan bercerita. Aku mengangguk.
Setelah satu hari penuh yang dipadatkan dengan pekerjaan dan sekolah maka makan
malam merupakan waktu paling tepat untuk bercengkrama lagi dengan keluarga
tercinta.
Di tengah kesibukan mereka sebagai
dokter klinik, mereka selalu menyempatkan untuk membawaku berkeliling. Kami
mengunjungi Morialta dan Gorge Wildlife Park untuk melihat air terjun, koala,
kangguru, dan binatang-binatang unik lainnya. Mereka juga mengajakku berkunjung
ke rumah orang tua Alison dan juga neneknya yang tinggal di retirement house. Pada akhir pekan kami
juga pergi ke pusat perbelanjaan untuk belanja hadiah natal. Karena aku begitu
penasaran dengan Podiatrist maka pada hari kamis terakhir, Alison meminta izin
dari tempat kerjaku agar aku bisa ikut dengannya ke klinik. Alison dengan sabar
menjelaskan kepadaku setiap kali aku bertanya tentang ini dan itu.
Pada makan malam terakhirku di
rumah, kami menggelar pesta barbeque
dan mengundang orang tua Alison serta teman Scott. Itu adalah makan malam yang
sangat berkesan bagiku. Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah
membuatku menjadi salah satu bagian dari keluarga. Aku juga belajar banyak dari
keluarga kecil tersebut tentang bagaimana gaya hidup orang Australia dan cara
menyikapinya.
Desi bersama Scott, Alison, Isaac dan Noel |
Kemudian pada Australian Rural
Phase aku tinggal di kota kecil Goolwa di Fleurieu Peninsula dengan Brad dan
Deidre Davis dan dua anak mereka, Cormac dan Nuala. Tinggal di fase kota kecil
merupakan tantangan baru bagiku. Tidak seperti di Adelaide, di sini aku
merupakan satu-satunya wanita berhijab di seluruh Goolwa.
Pertama kalinya bagiku merasakan
menjadi minoritas di tengah kehidupan sosial. Namun keluarga angkatku justru
sangat bahagia atas kehadiranku. Ternyata sebelum aku sampai ke rumah, mereka
mencari namaku di Google dan menemukan videoku menari Saman di Youtube. Anak
mereka, Cormac dan Nuala sangat bersemangat dan memintaku untuk mengajari
mereka. Adik-adikku itu juga selalu memberiku hadiah. Cormac membuat gambar
untukku di hari pertamaku datang dan menempelkannya di lemari bajuku. Mereka
juga memberikan hadiah-hadiah seperti batu yang didekorasi sendiri, permen,
atau surat-surat lucu.
Tiap malam Nuala memintaku untuk
membacakan buku cerita sebelum tidur. Cormac juga mengajakku untuk menggambar
bersama sepulang sekolah.
Selama ini aku hidup sebagai anak
bungsu dari empat bersaudara. Selama ini aku belum pernah merasakan bagaimana
rasanya mempunyai adik. Di sini, aku pun belajar bagaimana caranya menjadi
seorang kakak dan membagi perhatian yang rata kepada mereka berdua. Cormac dan
Nuala telah merebut hatiku dengan sikap mereka yang lucu. Jika tidak karena
mengikuti program ini mungkin aku tidak akan pernah mendapatkan adik-adik yang
sangat menyayangiku seperti mereka. Cormac sering mengajakku berbicara dengan
bahasa Indonesia, ia adalah anak yang pintar dan Nuala juga sering mengajakku
mengobrol bercerita tentang hari-harinya di sekolah.
Desi bersama Brad dan Deidre Davis serta Cormac dan Nuala. |
Di Indonesia, aku membantu Emily
untuk dapat menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Emily yang hanya sedikit
bisa berbahasa Indonesia terkadang kesulitan untuk memahami ucapan orang tua
angkat kami yang memiliki logat khas. Bahkan aku pun kadang-kadang agak
kebingungan. Namun itulah tantangan yang membuatku belajar. Bahwa meskipun
Bapak, Ibu, dan aku sama-sama orang Indonesia namun aku berasal dari Bengkulu,
jauh di barat Indonesia, sedangkan mereka tinggal di Sulawesi Selatan, hampir di
ujung timur Indonesia. Selain Emily, aku pun telah belajar banyak dengan
tinggal bersama orang tua angkat di Tanahberu dan Kota Makassar.
Desi dan counterpartnya Emily bersama Bapak H.Yunus dan Ibu Hj.Rostina |
Setiap orang tua angkat memberikan
kenangan dan tantangan yang berbeda bagiku dan itu merupakan pelajaran berharga
untuk hidupku. Hingga kini aku masih bertukar kabar dengan keluarga-keluargaku
dan saling berkirim rindu. Terima kasih AIYEP, telah mempertemukanku dengan
keluarga-keluarga baru, memberiku pengalaman berharga, pelajaran hidup, dan
menjadi duta muda bangsa Indonesia untuk Australia.
Desi Aprianti
AIYEP 2016/2017
No comments:
Post a Comment