“Akhirnya, hari ini makan rendang!” seru semua
orang Indonesia di ruangan itu. Ms. Kirly memberi kami kejutan setelah sesi
orientasi hari ini selesai. Setelah dua bulan menjalani program pertukaran
pemuda Indonesia-Australia, kami diajak oleh tim AFS intercultural program
sebagai project officer di Australia
untuk menikmati hidangan khas Indonesia di kota Sydney. Aura kelegaan dan
kebahagiaan terpancar dari wajah-wajah pemuda Indonesia yang telah lama menanti
momen ini.
Perjalanan dari penginapan ke
restoran ditempuh dengan menaiki kereta listrik. Delapan belas pemuda
Indonesia, dan delapan belas pemuda Australia, ditambah dengan beberapa staff
AFS, memenuhi ruangan restoran yang baru dibuka di kawasan Townhall, Sydney.
Kata mereka, tujuannya kali ini adalah untuk melepas kangen kami terhadap
masakan Indonesia dan tujuan kedua adalah untuk memperkenalkan masakan
Indonesia yang penuh bumbu dan kaya rempah pada peserta AIYEP dari Australia.
Sore itu, semua dahaga dan lapar
akan sambal, kangkung, rendang, tempe, santan terbayar sudah. Entah mengapa,
makanan Indonesia di restoran itu bertambah-tambah nikmatnya. Lebih nikmat daripada
makan di Indonesia sekalipun. Mungkin karena sudah terlalu kangen kali, ya?
Beberapa rekan Australia yang pertama kali mencoba hidangan Indonesia hanya
berani mencicipi ayam goreng saja, karena mereka tidak terbiasa dengan rempah
dan tentunya cabai. Sedangkan kami melahap semuanya sampai ludes.
Saya mengakui bahwa saya adalah
manusia paling ribet di antara 18 delegasi Indonesia dalam urusan makanan.
Perut dan lidah saya sudah 6 tahun terbiasa dengan masakan terbaik dunia,
masakan Padang. Ketika awal-awal sampai di Australia, saya merasakan lapar yang
tak henti-henti. Makan ini tidak cocok, makan itu tidak kenyang, alhasil saya
lebih banyak makan KFC. Tetapi, karena perut yang bawel inilah pengalaman saya
di Australia menjadi sangat berkesan.
Satu minggu awal, kami masih tinggal
di penginapan untuk orientasi kehidupan di Australia. Saya dengan 17 belas
delegasi dari Indonesia sangat menikmati momen-momen ini. Orientasi di dalam
ruangan paling lama 4 jam, kemudin kami akan diajak untuk beraktivitas di luar
ruangan. Diajak jalan sambil belajar ke Bondii Beach, melihat kangguru di
Taronga Zoo, makan siang di sekitaran Sydney Opera House, melihat galeri,
bahkan sampai mengunjungi Naisda Dance College. Malamnya pun kami diberi
kebebesan untuk menjelajahi kota Sydney. AFS intercultural program mengemas
program orentasi ini dengan sangat baik. Selain itu, mereka sesekali memberi
kebebasan pada kami untuk memilih tempat makan malam kami sendiri. Tidak melulu
mereka yang atur.
Kami juga diperkenalkan dengan
bebagai makanan ala Australia. Sereal dan roti sebagai sarapan Sandwich sebagai
makan siang, dan pasta sebagai makan malam. Beberapa kue ala Australia juga
dihidangkan untuk kami. Salah satu yang paling disukai adala Pavalova. Kue
dengan tekstur yang sangat lembut, manis, dan ditabah potongan-potongan buah
segar. Ini benar-benar nikmat. Saya bukan penggemar kue, tapi kue ini enak
sekali.
Usai orientasi, kami dipertemukan
dengan host family kami. Kebetulan saya mendapatkan keluarga asal Spanyol yang sudah
32 tahun tinggal di Australia. Walaupun begitu, aksen spanyol mereka masih
sangat kental. Sungguh menarik, aksen Australia ditambah aksen spanyol
menghiasi hari-hari saya. Sampai-sampai, saya hampir setiap hari merasakan
kelelahan yang tidak tahu asalnya darimana. Setelah saya tanya ke host-mom, dia
menjawab mungkin karena otak saya capek terus bekerja menterjemahkan bahasa
setiap waktu. Wauw ada benarnya juga. Karena kelelahan, akhirnya saya harus
banyak makan dong. Hehehe...
Di Sydney, banyak tersedia makanan
dari berbagai negara. Di kota ini lah saya mencicipi hidangan-hidangan hampir
dari seluruh dunia. Usai magang di University of Sydney, saatnya cari makan.
Kadang, saya dan rekan-rekan nongkrong ke restoran Thailand kalau sedang kangen
nasi. Restoran Jepang, Korea, Meksiko, Arab, Turki, India, Malaysia, Tiongkok,
Vietnam, sudah dijelajahi semua. Tapi tetap yang paling favorit buat saya
adalah makanan Indonesia. Tak ada sambal yang lebih enak dibanding sambal
buatan Indonesia. Tak ada pula ayam bakar yang lebih enak daripada ayam bakar
di restoran Ayam Bakar 99, Sydney. Untunglah tersedia sambal Indonesia botolan
dijual di Sydney. Akhirnya kemana-mana saya selalu bawa sambal botol.
Tanggal 10 November adalah ulang
tahun saya. Sore itu, saya sengaja mengajak rekan setia saya, Takdir dari
Kalimantan Tengah untuk kabur acara arisan rutin bersama AIYA (Australia
Indonesia Youth Association). Karena dari pengalaman sebelumnya, di acara tersebut
makanannya adalah pizza. Saya tidak suka pizza. “Pokoknya, di hari ultah saya
ini, saya mau makanan Indonesia saja!” pinta saya pada Takdir. Kebetulan ia
mengetahui restoran Indonesia yang baru dibuka di Sydney. “The Sambal”, itulah
namanya, mendengar namanya saja perut saya sudah lapar. Kami berdua pergi
kesana dan memesan apapun yang kami mau dari daftar menu. Setelah hampir mati
kekenyangan, tagihan restorannya seolah membuat penyesalan. “Muahal... tapi
enak!” karena saat itu di Australia, jadi Ulang tahunnya juga ikut budaya
Australia dong. Makan malam itu, disponsori oleh Takdir.
Satu hari sebelum berangkat ke
Canberra dan pindah ke regional, kami harus menerima kenyataan pahit, bahwa
satu dari kami harus pulang ke Indonesia untuk melakukan pengobatannya di
Indonesia. Rina dari kepulauan Riau harus kembali ke Indonesia besok pagi.
Malamnya, saya sempatkan datang ke rumahnya untuk menjenguk sekalian
menghabiskan bahan masakan di kulkas mereka. Ya, saya memasakkan steak ayam
untuk mereka.
Setelah satu bulan di Sydney, kami bersiap untuk pindah ke
fase regional. Namun, sebelumnya kami dibawa dulu ke Canberra untuk “mid visit
break”. Di kota ini lah pertama kalinya saya melihat kangguru berkeliaran di
pinggir jalan serta pertama kali juga saya mencicipi daging kangguru. Rasanya
lebih mirip ke hati sapi, tapi mungkin itu hanya masalah pengolahannya saja.
Daging kangguru ditambah sambal ternyata lumayan juga.
Dari Canberra, saya bertolak ke Cessnock, sebuah kota kecil
di pinggiran hunter Valley. Kota ini dulunya adalah kota tambang, sekarang
telah menjelma menjadi kota pabrik wine. Perkebunan anggur layaknya di
film-film bisa saya lihat setiap hari di halaman belakang rumah. Bahkan saya
berkesempatan untuk bekerja di pabrik pembuatan wine. Saya benar-benar kagum
dengan teknologi yang digunakan. Puluhan ribu liter wine diproduksi setiap
harinya dan disimpan dalam tong-tong raksasa. Benar-benar menakjubkan. Saya
juga diajak untuk mempelajari langsung bagaimana membudidayakan anggur.
“Awesome!” itulah kata yang bisa saya gambarkan tentang cara Australia
membudidayakan anggur di tengah tanahnya yang kering.
Di kota ini saya tinggal bersama delegasi AIYEP lainnya yaitu Cinda dari Provinsi Lampung.
Kota kecil ini tidak menyediakan banyak pilihan untuk berkuliner. Perut saya
dan Cinda yang bawel memaksa kami untuk memasak setiap hari. Host family kami
pun belum pernah ke Indonesia, jadi sekalian saja kami masak untuk mengenalkan
hidangan Indonesia kepada mereka. Masakan utama yang selalu dimasak tentunya
adalah steam rice atau nasi putih. Kemudian, kadang kami menyajikan ayam
goreng, mie goreng, ayam tumis kecap lada hitam, sambal kecap, sambal bawang,
telur dadar, dan nasi goreng. Di suatu sore, kami ingin membuat cemilan untuk
host ’family kami, tercetuslah oleh Cinda bahwa dia akan memasak pisang goreng. Semua
bahan telah dibeli, dibuat dengan presisi dan
kemewahan, dan jadilah “fried Banana-nutella springroll”. Semua orang
menyukai nya. Host-dad dan host-mom pun melahapnya sambil minum red wine.
“Lebih terasa kemewahannya!” ujar mereka.
Selain menghindangkan masakan Indonesia, host-mom saya juga
mengajarkan bagaimana mengolah daging steak. Wow! ini kesempatan langka.
Bahkan di Indonesia saya baru sekali makan steak. Nah disini saya berkesempatan untuk mengolah steak sampai memanggangnya. Berasa seperti di Australian Masterchef
ketika diajarkan tentang tingkat kematangan daging steak.
Dua bulan di Australia mengajarkan saya banyak hal. Saya
semakin cinta dan bangga dengan masakan lokal Indonesia. Ternyata disini,
masakan Indonesia dihargai dan digemari. Kemampuan bahasa inggris saya
meningkat. Saya belajar mengenai etos kerja. Wawasan dan cara pandang saya
terhadap dunia lebih terbuka. Saya mampu menyikapi perbedaan dan mengubahnya
menjadi sesuatu yang positif. Saya belajar menjadi pribadi yang mandiri,
kreatif dan sabar.
Makanan hanyalah salah satu media kita untuk memperkenalkan
kebudayaan Indonesia kepada dunia. Makanan adalah identitas dan jati diri
bangsa. Makanan bisa berbeda. Rasa pedas, asin, rempah, dan interpretasi kata
‘enak’ bisa berbeda-beda. Namun, rasa saling menghargai dan kasih sayang yang
tertuang dalam makanan adalah bahasa universal yang disetujui oleh semua orang.
Beda negara beda makanan, satu cinta untuk kasih sayang sesama manusia.
Wahyu Tri Novriansyah
AIYEP 2017
No comments:
Post a Comment