“All is Well”

All is well adalah kalimat yang saya sangat sukai. Saya mendapatkan kalimat ini dari film India yang sangat terkenal yaitu Three Idiots. Saya tidak akan bercerita tentang film ini, tapi saya akan bercerita bagaimana tiga suku kata tadi telah menjelma menjadi semangat hidup bagi saya.

Cerita ini bermula saat saya mengikuti seleksi Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) 2017. Ini adalah tahun ketiga saya mengikuti seleksi program ini. Tahun 2014 adalah kali pertama saya mengikuti seleksi PPAN tapi saya belum berhasil di percobaan pertama ini. 2016 adalah tahun kedua saya mengikuti seleksi, namun tetap hasilnya belum bisa memberangkatkan saya menjadi salah satu delegasi. Saya sempat ragu untuk ikut lagi, tetapi saya coba bangkitkan semangat saya untuk ikut seleksi di tahun 2017. Satu hal yang saya ingat adalah “All is Well”, semuanya akan baik-baik saja. Saya berusaha merefleksikan diri dari beberapa seleksi sebelumnya. Akhirnya saya putuskan untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin. Mulai dari mencari bahan Speech bersama dua teman saya, lalu saya membaca beberapa informasi yang diberikan oleh alumni saat sosialisasi di kampus dan informasi tambahan lainnya yang ada di media sosial. Saya juga membuat daftar penampilan apa saja yang akan saya tampilkan saat pertunjukkan budaya di hari terakhir nanti. Tapi hal yang paling penting adalah saya meminta restu mama dan menyerahkan semua usaha saya kali ini kepada Tuhan.

Alhamdulillah, setelah melewati rangkaian proses seleksi, pada tanggal 12 April 2017 saya dinyatakan lulus sebagai kandidat Pertukaran Pemuda Antar Negara tahun 2017 mewakili provinsi Bengkulu dalam program ASEAN-India Students Exchange Program (AISEP). Bersama 5 kandidat lainnya; Mbak Jeje (Malaysia sebelum akhirnya berganti menjadi program Singapura), Bang Wahyu (Australia), Putri (Kanada), Ella (Korea Selatan) dan Randika (Jepang-ASEAN). Ini bukanlah akhir melainkan awal perjuangan saya dan batch 2017 untuk belajar lebih banyak hal lagi sebelum diberangkatkan menjadi delegasi pada program kami masing-masing. Setelah dinyatakan lulus kami harus melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan sebagai pra-syarat program. Lalu, selanjutnya kami harus mengikuti PPDT (Pra-Pre Departure Training) atau pelatihan sebelum program di daerah.

PPDT berjalan selama kurang lebih tiga bulan, banyak hal yang saya pelajari di PPDT ini. Pertama, saya merasakan kekeluargaan yang erat selama berlangsungnya PPDT. Di sini saya merasa bahwa ada hal yang jauh lebih penting dari sebuah ego, yakni saling mengerti. Beberapa kali saya melakukan kesalahan selama di PPDT, salah satunya adalah saya lupa membawa kostum seragam untuk kami berenam saat itu. Jadilah pada hari itu kami harus menghafalkan lagu daerah nusantara. Saya merasa sangat bersalah, tapi teman-teman yang lain tidak menyalahkan saya. Mereka malah memberikan saya nasehat, supaya hal serupa tidak terjadi lagi dan dengan candaan khasnya mba jeje mengatakan bahwa hal seperti ini biasa terjadi. Dari kejadian tersebut saya belajar bahwa ada saatnya kita memang tidak perlu memperbesar suatu kesalahan, yaitu saat kesalahan itu masih bisa diperbaiki dan bisa didiskusikan bersama. Saya belajar bagaimana caranya menghargai satu sama lain dan mencoba memahami karakter setiap individu yang ada di batch kami.

Kedua, saya belajar bagaimana caranya menghargai waktu. Beberapa kali kami terlambat untuk datang ke PPDT, ya walaupun itu hanya 1 atau 2 menit. Namun, terlambat tetaplah sebuah keterlambatan. Para alumni mengatakan bahwa di program nanti, 1 menit itu sangatlah berharga, karena apabila kita tidak bisa menjadi orang yang tepat waktu. Maka kita akan menyebabkan masalah tidak hanya ke diri sendiri, tapi juga kepada kontingen se Indonesia, bahkan akan menjadi permasalahan semua kontingen dari negara lain yang juga ikut program. Lalu yang akan menjadi sorotan adalah Indonesia. Maka saya belajar bagaimana caranya untuk sebisa mungkin datang lebih awal daripada waktu yang dijanjikan.




Ketiga, saya belajar bagaimana caranya bernyanyi dan menari. Jujur teman-teman, pada fase inilah saya merasa saya memiliki banyak kekurangan, karena suara saya adalah yang paling tidak enak didengar dibanding 5 kandidat lainnya. Selain itu, bagi saya seseorang dengan berat badan mencapai 95 kilogram, menari adalah hal yang sangat sulit sekali untuk dilakukan. Tetapi saya ingat satu kalimat pamungkas “All is well”. Maka, dengan kerja keras dan usaha yang gigih saya mencoba untuk terus berlatih. Alhamdulillah memang benar kata orang-orang bahwa kerja keras itu bisa mengalahkan talenta. Setelah kurang lebih berlatih 2 bulan akhirnya saya bisa mengikuti ritme nyanyian dan nada dari batch saya ketika sedang menyanyikan medley, dan saya juga menjadi sedikit lebih percaya diri untuk bernyanyi. Soal tarian, setelah berlatih saya mampu menarikan beberapa tarian. Khusus tarian orlapei yang katanya sangat melelahkan, saya akhirnya sanggup ikut menari dengan teman-teman satu angkatan saya. Di situlah saya merasa tidak ada hal yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.

Lalu, saat kami telah melewati PPDT, saya mengerti bahwa hal yang selama ini menghalangi kita untuk melakukan sesuatu adalah karena kita sudah mengecilkan dan meragukan kemampuan diri kita sendiri. Kita selalu merasa bahwa semuanya sulit untuk dilalui, padahal jika kita berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja, maka hal baiklah yang akan terjadi. Seperti pepatah melayu, apapun yang diletakkan diatas nampan pualam, semuanya akan menjadi hal yang baik. Maka ketika kita menghadapi masa-masa sulit, saat kita merasa hal itu sangat berat untuk dilalui, dan semuanya terlihat tidak mungkin, ingatlah satu kalimat ini: “All is Well”, dan tetap berusaha, lalu semuanya akan baik-baik saja.

Alheru Akbar
AISEP 2017/2018

No comments:

Post a Comment

Pages