Perkenalan, Kelemahan, dan Tanggung Jawab (Keep Calm and Strong)

Setelah pengumuman hasil seleksi PPAN (Pertukaran Pemuda Antar Negara) pada 22 April 2016, lahirlah tim yang kami namakan "The Pinkers". Kami saling mengenal satu sama lain dan mulai terbuka saat menjalani PPDT (Pre pra Departure Training) di minggu pertama, 7 Mei 2016.

Agenda pada minggu tersebut adalah mempelajari Tari Saman. Sebagai pemula, kami sama-sama mengalami kesulitan dalam berlatih sebab ini merupakan pengalaman pertama. Rupanya, tari yang difokuskan pada gerak tangan ini ternyata tidak mudah. Selain menjaga ritme gerak, kami pun harus menahan
sakit akibat berat tubuh yang ditopang dalam posisi duduk dengan durasi yang cukup lama. Tak ada kata toleransi dalam Tari Saman, tetapi kemauan untuk mencapai gerakan yang satu ritme dan kompak menjadi sebuah keharusan. Jadi, mau tidak mau kami harus berlatih di luar jadwal PPDT supaya terbiasa dan gerakannya rampak.

Saat latihan, kami sering mendokumentasikan tarian dalam bentuk video. Lalu, saat diputar kembali, keluarlah gelak tawa tiada henti lantaran melihat betapa kikuk dan anehnya kami saat berlatih. Tangan yang tidak sama, arah kepala yang berbeda, ditambah pula dengan ekspresi menahan sakit  serta cemas karena gerakan yang terlambat atau salah. Setidaknya melalui tawa ini, kami belajar menilai apakah tarian ini sudah layak ditampilkan atau belum.

Hari demi hari terus dilewati, kami menjadi semakin akrab dan mulai mendalami kehidupan pribadi masing-masing. Diselingi celetukkan dan guyonan yang membuat kami tertawa, pelan-pelan kami mulai satu pemikiran. Kelebihan masing-masing juga sudah mulai terlihat. Misalnya dalam hal tarian, Saya dan Adi lebih cepat menangkap gerakan yang diajarkan baik versi laki-laki maupun perempuan, Lia cermat menghitung tempo, sedangkan Desi cermat menangkap detail pergerakkan kaki.

Namun sayangnya, kelebihan masing-masing kurang diimbangi dengan kontrol kami terhadap tanggung jawab atas tugas-tugas yang telah diberikan, terutama saat PPDT minggu ke-4, Minggu, 5 Juni 2016. Seperti biasa, agenda hari Minggu adalah pengulangan tarian yang telah dipelajari, serta setoran tugas. Tugas pada minggu itu adalah membuat dan memperagakan medley tari yang minimal berasal dari lima daerah. Kebetulan saat itu, Adi berhalangan hadir PPDT, maka kualitas tim minggu ini bergantung pada kami bertiga. Sayangnya, kami tidak begitu mulus saat menampilkan tarian yang telah diajarkan, seperti Tari Saman, Orlapei, Kembang Jatoh, Elok-Elok Pukek, dan ditambah lagi dengan medley tari yang baru kami pelajari dalam tiga hari. Tidak hanya itu, kami juga dinilai tidak menampilkan wiraga, wirasa, dan wirama dengan sepenuh jiwa, transisi yang tidak rapi, juga tidak percaya diri dengan saling lirik untuk beberapa gerakan.

Setelah penampilan selesai, kami melakukan circle check seperti biasa. Namun, hari itu berbeda. Entah kenapa setiap kata menciptakan atmosfer kelabu yang dibarengi helaan napas panjang, seolah pertanda kualitas minggu ini menurun dan kami belum berhasil. Selesainya, Saya, Lia, dan Desi melakukan renungan dan saling meminta maaf atas kesalahan satu sama lain. Saya meminta maaf atas inisiatif yang kurang untuk lebih merangkul teman-teman, Lia dan Desi meminta maaf karena belum mengingat runtutan gerakan tarian. Adi pun turut merasa bersalah dan meminta maaf karena tidak bisa hadir minggu itu.

Saat itulah perasaan bersalah pelan-pelan membangun self-reflection dalam diri kami. Saat itu saya mulai memberanikan diri untuk berinisiatif memerhatikan dan mengoreksi gerak teman-teman, Lia mulai berani meminta latihan khusus, Desi tampak semangat menghapal gerakan, dan Adi lebih berani memotong bagian tertentu apabila ada detail yang kurang tepat. Semenjak hari itu, kami saling berinisiatif untuk meng-handle sesuatu dan saling mengingatkan hal-hal yang perlu ditingkatkan dan dipersiapkan.

Minggu selanjutnya, 12 Juni 2016, kami merasa lebih terdorong untuk bertanggung jawab. Kami belajar dari kesalahan dan dan bersedia mengemban tugas dengan lebih baik. Kami tampil dengan lebih menikmati tiap-tiap gerakan, transisi yang jelas, dan tidak lagi saling melirik. Ya, kami menjadi lebih tangguh!

Terkadang, jika diingat, berat rasanya menerima kelemahan di dalam diri masing-masing. Mungkin, karena kami merasa ada yang kami korbankan dan perjuangkan selama latihan. Terkadang, kelemahan dan rasa bersalah yang kerap datang bersamaan menjadi sebuah tekanan. Mungkin, karena kami merasa kemauan dan usaha dalam diri sudah sangat maksimal.

Namun, kami harus belajar mendengarkan. Terima atau tidak, bisa atau tidak. Belajar membiasakan diri menerima keadaan dan masukkan dengan lebih baik. Belajar hebat, belajar menerima kecewa. Bukankah hal tersebut adalah perwujudan kekecewaan terhadap hasil yang sulit untuk diakui? Maka, porsi saya dan teman-teman adalah menjadi pribadi yang lebih gigih, yang mau dan mampu membangun mental untuk mengoreksi diri, siap menutupi kekurangan dengan kelebihan-kelebihan, serta saling mendukung satu sama lain.
Semangat!


Saat PPDT

Naeyza Islamey Ningrum
IChYEP 2016

No comments:

Post a Comment

Pages